PANDANGAN FILSAFAT KONSTRUKTIFISME TENTANG
PELAKSANAAN UJIAN AKHIR NASIONAL DI INDONESIA
Oleh: Luh Ketut Sri Widhiasih
A.
Latar
Belakang Masalah Yang Dihadapi
Pendidikan
merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut
Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga Negara (Ngadirin, 2004). Untuk
mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode
pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk
evaluasi.
Dengan
demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak
dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat
dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap
tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak
tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian
akhir nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
Pemerintah yang, menurut pendapat penulis, merupakan bentuk lain dari Ebtanas
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UAN merupakan
alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan? Jika kurikulum Indonesia sudah berdasarkan Filsafat
konstruktivisme yang mendasarkan pembelajaran pada evaluasi proses, haruskah
UAN dilaksanakan? Makalah ini mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam
bentuk UAN dapat menjawab pertanyaan tentang tingkat ketercapaian tujuan
pendidikan berdasarkan filsafat konstruktivisme. Pembahasan dimulai dari
landasan filsafat konstruktivisme, pemecahan masalah berdasarkan filsafat
konstruktivisme, dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran.
A.
Landasan
Filsafat
1. Konsep
Dasar
Berdasarkan Suparno (1997), gagasan pokok konstruktivisme
sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia, pada tahun 1970.
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean
Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama
dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang
melebihi gagasan Vico.
Filsafat
konstruktivisme dapat digolongkan dalam filsafat pengetahuan, bagian dari
filsafat yang mempertanyakan masalah pengetahuan dan bagaimana kita dapat
mengetahui sesuatu. Dewasa ini filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi
perkembangan pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak tahun 2006/2007 sebenarnya
memiliki akar pada konsep filsafat ini. Dalam konsep filsafat konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh seorang guru kepada murid.
Pengetahuan yang didapat murid bukanlah suatu perumusan yang diciptakan oleh
orang lain melainkan dibangun (konstruksi) oleh murid itu sendiri (Basuki,
2010).
Sedangkan,
pemikiran dasar yang melandasi filsafat konstruktivisme yaitu pengetahuan
merupakan hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri karena
pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain,
tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang (Suparno, 1997).
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang
berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan
seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Proses
konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam
Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama
menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan
landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia
sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru
manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa
pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif
baku.
Menurut
filsafat konstruktivisme, suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan
benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan
yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Pokok
pikiran dari filsafat konstruktivisme adalah sebagai berikut:
• Belajar
adalah sebuah proses aktif konstruksi ide baru.
• Pembelajaran
lebih berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.
• Peran
guru adalah sebagai fasilitator dan pembantu.
• Pembelajaran
berorientasi pada proses.
• Kurikulum
berdasarkan pada pembentukan social.
• Pembelajaran
ditekankan pada ilmu social dan proses.
• Pembelajaran yang demokratis dan kooperatif
harus diprioritaskan.
2. Analisis
Filsafat
Berikut
adalah analisis kritis penulis terhadap filsafat konstruktivisme menggunakan
model analisis SWOT:
• STRENGTHS (KEKUATAN)
- Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah
peseta didik yang aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka
membandingkan pengalaman kognetif mereka dengan persepsi kognetif mereka
tentang sesuatu. Jadi guru dalam pembelajaran konstruktivisme hanya
fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas untuk mentransfer
ilmu pada siswa.
- Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar
terhadap sesuatu, pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan
ilmu baru yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga
tercipta konsep yang sesuai dengan yang diharapkan.
- Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna
berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya. Jadi
dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme, pembelajar mendapatkan
ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan
mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi baru yang mereka
dapat. Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian secara mandiri akan
menimbulkan makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
- Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar
dapat dengan bebas mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya
sebelumnya, sehingga tercipta konsep yang diinginkan.
- Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme
adalah proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan
sangat jelas.
- Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi
ilmu barunya, sehingga mereka akan produktif menciptakan konsep baru
tentang sesuatu untuk diri mereka sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk
dalam filsafat ini dengan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk
menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk melahirkan konsep baru yang
nantinya akan mereka aplikasikan untuk mengatasi permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
- Proses evaluasi difokuskan pada penilaian
proses. Filsafat
konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu barunya
dengan merefleksi pada pengalaman sebelumnya untuk membuat konsep baru. Dalam
praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal
terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih
menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk
membentuk pengetahuan.
• WEAKNESSES (KELEMAHAN)
Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil
konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep
alternative. Untuk itu diperlukan bantuan guru sebagai fasilitator bagi pembelajar
untuk mengkonstruksi ide baru mereka, agar tidak terjadi salah tapsir akan
pengertian sesuatu.
• OPPORTINITIES (PELUANG)
- Inovasi di bidang pendidikan di era
globalisasi sekarang ini memungkinkan pembelajar untuk mengkonstruksikan
sesuatu yang mereka dapat secara mengglobal, sehingga menciptakan konsep
yang berguna untuk kehidupan global.
- Sumber belajar yang lengkap juga
merupakan peluang yang akan membantu pembelajar untuk mengoptimalkan
proses pengkonstruksian konsep yang mereka dapat.
- Teknologi pendidikan yang makin
berkembang dan tersedia luas sangat memungkinkan pembelajar memperoleh
pengalaman belajar yang lebih lengkap.
- Peluang berkembangnya filsafat
konstruktivisme juga didukung oleh kecendrungan persaingan individu yang
bebas dan sportif. Pada kasus ini, pembelajar menjadi termotivasi untuk
mengkonstruksi sebuah konsep dengan penafsiran yang benar dan dengan waktu
yang cepat karena tuntutan individu untuk menjadi yang terbaik.
• THREATS (KENDALA)
- Kemauan dan kemampuan belajar yang
lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses konstruksi menjadi
terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang berperan aktif dalam
pembelajaran adalah pembelajar.
- Terkadang pembelajar tidak memiliki
ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi pemahamannya terhadap sesuatu,
itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya mengerti sesuatu.
A.
Pemecahan
Masalah berdasarkan Filsafat
Pemerintah telah
mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi
pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003
tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan
UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan
tingkat atas. Selain itu UAN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. UAN berfungsi sebagai alat
pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu
pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan
sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam
bentuk UAN dapat mengukur bahwa siswa benar-benar belajar atau hanya menghapal?
Hasil belajar
bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga
berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat
diukur dengan menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Seperti yang
terungkap dalam filsafat konstruktivisme, bahwa pembelajaran berorientasi pada
proses bukan hasil akhir. Jadi proses seorang siswa mendapat pengetahuannya
lalu dapat mengaplikasikan pengetahuannya saat itulah seorang siswa dinyataka
“lulus” dalam proses belajarnya.
System belajar
mengajar konstruktivisme memerlukan evaluasi tersendiri, bukan evaluasi seperti
yang sekarang ada yang menekankan pada isi bahan pelajaran. Evaluasi dengan multiple-choice,
evaluasi yang tidak memungkinkan siswa mengungkapkan gagasan mereka sendiri
dengan lebih leluasa sepertinya sangat tidak tepat dengan filsafat
konstruktivisme yang menjungjung tinggi peran siswa dalam usaha pengembangan
gagasanya secara mandiri. Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang
tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan
untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas
tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka.
Sistem UAN
sangat sayang jika dipertahankan, karena tidak akan berdampak membangun untuk
siswa. Ketika menjelang UAN, smua sekolah kembali pada system lamanya. Guru
memegang peranan utama lagi dalam kelas yang menurut konstruktivisme seharusnya
students-center. Semua dengan alasan mengejar materi untuk persiapan UAN.
Tetapi pernahkah dipikirkan, berapa persen materi yang diajarkan guru dengan
ketergesa-gesaan seperti itu dan pola teacher-center yang dipakai,dapat diserap
oleh otak siswa? Proses mentransfer pengetahuan yang dilakukan guru itu sangat
tidak effective, karena menurut konstruktivisme, pengetahuan tidak bisa
ditransfer dari satu individu ke individu lain. Pengetahuan adalah hasil dari
proses kontruksi pengalaman terdahulu dengan pengetahuan baru sehingga
melahirkan suatu konsep.
Selain itu, konstruktivisme menyatakan, belajar bermakna
adalah dimana pengetahuan yang didapat dari proses belajar dapat diaplikasikan
untuk mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, dapatkah UAN memberikan
proses belajar bermakna dalam pelaksanaannya?
Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk
mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia
pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang
kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah
berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang
dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak
bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya
dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua
anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama
untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
B.
Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa filsafat konstruktifisme ada sebagai cara pandang kita
melihat pengetahuan dari sisi kebermanfaatannya bagi kehidupan siswa
sehari-hari. Bukan terpaku pada pengetahuan semu yang berupa hapalan dan belum
tentu dapat siswa gunakan untuk mengatasi masalahnya sehari-hari. Meskipun
sulit mejalankan teori ini berkaiatan dengan UAN, akan tetapi akan berguna dan
dapat membantu kemajuan anak didik kita di kemudian hari, apabila para pendidik
dapat membantu agar anak didiknya sungguh belajar mengkonstruksi pengetahuan
mereka selama dalam bangku sekolah. Biarkanlah mereka berpikir kritis terhadap
bahan yang mereka pelajari dan biarkan mereka untuk mengungkapkan gagasan ide
serta interpretasi mereka terhadap apapun yang mereka pelajari. Jangan matikan
kreativitas mereka dengan memilih mengajar dengan menggunakan system
teacher-center dengan alasan mempersiapkan UAN dan hanya membatasi materi pada
pateri UAN. Akhirnya, hasil akhir itu adalah penting dalam proses pendidikan,
tetapi prose mendapatkan hasil akhir itu jauh lebih penting.
C.
Saran
Penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya
system UAN dikaji kembali, untuk melihat efektivitasnya untuk kelangsungan
generasi muda berikutnya. Jangan sampai system UAN menjerumuskan siswa yang
mungkin tdk berbakat pada materi yang diujikan tp berbakat pada keterampilan
lain. Itu akan membatasi kreativitas siswa.
2. Bagi
guru yang akan mempersiapkan UAN untuk siswanya, sebaiknya mempersiapkannya
dari jauh-hari,agar tidak terkesan mengejar waktu, hingga akhirnya mengorbankan
kesempatan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.
Jika UAN ingin
dilanjutkan pelaksanaannya, sebaiknya lebih memperhatikan penilaian proses,
tidak hanya penilaian produk akhir. Mungkin ini bisa dilakukan dengan mengganti
jenis soal, sehingga dapat mengukur kasitas siswa secara murni.
References
Basuki, Markus. 2010. Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme.
http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar